Katagori

Minggu, 09 Desember 2012

RUMAH SUSUN LAKSANA SORGA



pembangunan pada umumnya diartikan sebagai suatu usaha yang sadar oleh orang atau sekelompok orang untuk memajukan kehidupan masyarakat dan warganya Sekalipun sebagai suatu usaha yang sadar, tidak semua pembangunan memberikan dampat positif terhadap kehidupan bangsa dan negara
Pengertian pembangunan sebagai suatu proses, akan terkait dengan mekanisme sistem atau kinerja suatu sistem. Menurut Easton (dalam Miriam Budiardjo, 1985), proses sistemik paling tidak terdiri atas tiga unsur: Pertama, adanya input, yaitu bahan masukan konversi; Kedua, adanya proses konversi, yaitu wahana untuk ”mengolah” bahan masukan; Ketiga, adanya output, yaitu sebagai hasil dari proses konversi yang dilaksanakan. Proses sistemik dari suatu sistem akan saling terkait dengan subsistem dan sistem-sistem lainnya termasuk lingkungan internasional.
Proses pembangunan sebagai proses sistemik, pada akhirnya akan menghasilkan keluaran (output) pembangunan, kualitas dari output pembangunan tergantung pada bahan masukan (input), kualitas dari proses pembangunan yang dilaksanakan, serta seberapa besar pengaruh lingkungan dan faktor-faktor alam lainnya. Bahan masukan pembangunan, salah satunya adalah sumber daya manusia, yang dalam bentuk konkritnya adalah manusia. Manusia dalam proses pembangunan mengandung beberapa pengertian, yaitu manusia sebagai perencana pembangunan, manusia sebagai pelaksana pembangunan, dan manusia sebagai sasaran dari proses pembangunan (as object).
Dari uraian di atas, terlihat bahwa faktor manusia memegang peranan yang penting dalam pelaksanaan proses pembangunan. Manusia oleh beberapa ahli disebut sebagai makhluk sosial, sehingga karenanya bersifat dinamis. Manusia sebagai makhluk sosial diartikan sebagai makhluk yang tidak dapat hidup menyendiri, selalu membutuhkan hubungan sosial dengan manusia lainnya, serta karena hubungannya tersebut menghasilkan sistem nilai yang baku. Sistem nilai tersebut adalah budaya, yaitu hasil cipta, rasa, dan karsa manusia sebagai akibat hubungan sosial dan proses adaptasi dengan kondisi alam dan lingkungan di sekitarnya. Manusia dalam kumpulan komunitas (masyarakat) akan membentuk kebudayaan komunitas (cultural community) yang pada intinya menunjukan identitas, ciri, atau kekhasan dari komunitas. Ketika mengartikan manusia sebagai subjek dan objek dari proses pembangunan, maka identifikasi dari identitas, ciri, atau kekhasan komunitas menjadi teramat penting. Pelaksanaan pembangunan harus didasarkan pada kondisi faktor SDM (termasuk identifikasi dari identitas, ciri, atau kekhasan komunitas) sebagai input pembangunan dan kondisi SDM (termasuk identifikasi dari identitas, ciri, atau kekhasan komunitas) sebagai sasaran atau objek pembangunan.
Manusia sebagai pelaku dan sasaran pembangunan merupakan fokus dan lokus dari pembangunan. Manusia sebagai pelaku pembangunan adalah terjadi suatu aktivitas yang demokratis-partisipatif dari mulai identifikasi kebutuhan (need assesment), perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi/pengendalian, sehingga akuntabilitas dan transparansi terjadi secara simultan, Good Governance dan Clean Government yang kita cita-citakan secara perlahan tapi pasti dapat kita raih. Sedangkan manusia sebagai sasaran pembangunan diartikan bahwa tujuan pembangunan adalah peningkatan kesejahteraan masyarakat (social welfare),
Pembangunan rumah susun yang tidak memperhatikan unsur manusia sebagai subjek dan objek dari pembangunan maka dapat berdampak negatif bagi kehidupan manusia dan lingkungannya.
Namun demikian menurut saya dampak positif adalah jauh lebih besar dibandingkan dampak negatif dari pembangunan rumah susun yang ada di Indonesia sekarang ini.
Beberapa dampak positif dari pembangunan rumah susun adalah:
1.             Memberikan peluang bagi anggota masyarakat untuk mendapatkan rumah layak huni.
2.             Membentuk keindahan dan kemegahan lingkungan perkotaan.
3.             Menambah keramaian pusat perkotaan.
Adapun beberapa dampak negatif dari  pembangunan rumah susun di Indonesia antara lain:
1.             Menjadikan culural shock bagi penghuni rumah susun di masa transisi.
2.             Membentuk elienasi budaya.
3.             Menjadikan stress atau ketidaknyamanan bagi penghuni rumah susun atas:
a)        Terlalu sempitnya luas desain hunian per keluarga.
b)        Kurangnya public space (ruang publik) di lingkungan rumah susun.
4.             Kurang didukung oleh sarana transportasi ke arah pusat-pusat perekonomian perkotaan.
Dampak positif pertama, pembangunan rumah susun memberikan peluang  bagi anggota masyarakat untuk mendapatkan rumah layak huni. Pernyataan ini didukung oleh fakta bahwa banyak orang yang ingin mendapatkan hunian rumah susun.  Lebih-lebih secara umum, orang cenderung lebih menyukai pada rumah-rumah bertingkat dari pada rumah tidak bertingkat. Rumah bertingkat dipandang lebih indah dan lebih megah dari pada rumah tidak bertingkat. Karena memang pembangunan rumah bertingkat itu memakan biaya jauh lebih besar dari pada rumah tidak bertingkat. Orang cenderung memandang bahwa rumah tidak bertingkat dipandang rumah biasa-biasa saja. Lebih-lebih rumah bertingkat di depan dan di belakangnya terdapat halaman yang cukup luas.
 Konstruksi rumah  bertingkat yang mempunyai halaman depan dan halaman belakang yang cukup luas menjadi impian semua orang.
Orang yang hidup di rumah bertingkat atau susun yang mempunyai halaman depan dan halaman belakang yang cukup luas menjadikan penghuni rumah susun layaknya hidup di surga. Istilah arab yang sangat terkenal ”baiti jannati”. Maksudnya adalah rumahku surgaku.
Rumah susun dipandang mampu memberikan peluang bagi anggota masyarakat untuk mendapatkan rumah layak huni. Hal ini sesuai dengan tujuan  yang dikemukakan dalam UU RI Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun Pasal 3 yang menyebutkan bahwa tujuan penyelenggaraan rumah susun adalah untuk menjamin terwujudnya rumah susun yang layak huni dan terjangkau, guna membangun ketahanan ekonomi, sosial dan budaya
Pada tahun 2007 ,melalui pernyataannya menyebutkan bahwa pemerintah akan melakukan percepatan pembangunan rumah susun di perkotaan sebagai solusi untuk mempertahankan lingkungan yang baik, sekaligus untuk memenuhi kebutuhan dasar rakyat akan rumah. Pernyataan tersebut secara jelas memberikan peluang bagi rakyat Indonesia untuk mendapatkan rumah hunian.
Dampak positif kedua adanya pembangunan rumah susun adalah untuk membentuk keindahan dan kemegahan lingkungan perkotaan.
Dengan membentuk keindahan dan kemegahan lingkungan perkotaan melalui pembangunan rumah susun ini memang dimaksudkan untuk membangun image bahwa perkotaan itu memang selayaknya merupakan tempat-tempat yang memberikan keindahan dan kemegahan  bagi para penghuni dan pengunjung lingkungan perkotaan tersebut. 
Tempat-tempat kumuh terkurangi atau bahkan terhabisi dengan cara dibangun rumah-rumah susun.
UU Nomor 20 tahun 2011 tentang Rumah Susun pasal 3 huruf b menyebutkan, meningkatkan efisiensi dan efektifitas pemanfaatan ruang dan tanah, menyediakan ruang terbuka hijau di perkotaan, yang berwawasan lingkungan. Kemudian UU Nomor 20 tahun 2011 tersebut huruf c menyebutkan mengurangi luasan dan mencegah timbulnya perumahan dan permukiman kumuh.
Dampak positif ketiga adanya pembangunan rumah susun di perkotaan Indonesia adalah untuk menambah keramaian pusat perkotaan. Berdasarkan pengamatan saya, hal seperti ini kontras dengan pemandangan alam pedesaan yang cenderung menampilkan sosok kesunyian dan sedikit terlihat orang lalu lalang.
Dengan dijejali banyak orang dan kendaraan mobil yang lalu lalang di sepanjang jalan protokol, pertokoan pusat kota ataupun taman-taman kota dapat menjadikan keindahan dan kemegahan suasana pusat kota.


Adapun dampak negatif dari dibangunnya rumah susun di perkotaan yang pertama adalah dapat menyebabkan cultural shock bagi para penghuni rumah susun terutama pada masa transisi. Keterkejutan budaya ini terjadi karena penduduk Indonesia yang sampai sekarang ini masih terbiasa dengan hunian rumah yang tidak bertingkat (horizontal house). Perpindahan hunian dari horizontal house ke arah vertical house ataupun rumah susun ini dapat menyebabkan para penguhuniya mengalami cultural shock. Saya kira ini sesuatu yang alami atau bisa dimaklumi kejadiannya. Namun saya yakin keterkejutan budaya ini sifatnya hanya sementara saja terutama pada masa-masa transisi. Jamu yang mujarab untuk dapat mengatasi keterkejutan budaya ini adalah dengan menerapkan pola adaptasi hunian rumah susun. Pola adaptasi hunia rumah susun ini dapat dilakukan dengan cara mempelajari ekologi rumah susun, aturan-aturan yang ada di rumah susun, dan membentuk peer group atau kelompok teman sebaya. Insya Allah dengan melakukan hal-hal tersebut keterkejutan budaya akan dapat diatasi sedikit demi sedikit. Dan kemudian penghuni rumah susun dapat menjadikan hunia rumah susunya sebagai tempat layaknya di surga. Dalam pengertian rumahku adalah surgaku. Baitii jannatii.
Dampak negatif kedua dibangunnaya rumah susun bagi para penghuninya adalah dapat mengakibatkan alienasi budaya. Alienasi budaya ini terbangun dari terbelengkainya cultural shock yang dihadapi oleh para penghuni rumah susun.  Ketika penghuni rumah susun mengalami cutural shock kemudaian tidak segera diatasi dengan baik. Maka cultural shock ini dapat mengakibatkan alienasi budaya. Penghuni rumah susun mengalami keterasingan budaya. Penghuni rumah susun tidak dapat menikmati dan menselaraskan budaya yang ada di rumah susun. Akhirnya tinggal di rumah susun dipandang tidak mampu mempersembahkan sebagai tempat laksana surga, akan tetapi justru sebaliknya, kehidupan di rumah susun dipandang sebagai sebuah pemandangan lakasana kehidupan di neraka. Hal ini adalah sangat bahaya, karena persepsi seperti ini dapat menggiring penghuni bersangkutan untuk menjadikan rumah susun untuk melakukan perbuatan-perbuatan nekad yang tidak menguntungkan secara pribadi dan sosial. Kasus melompat dari lantai atas di rumah susun adalah sebuah kasus yang amat sangat konyol bagi pelakunya.
Obat yang sangat mujarab untuk menangani kasus alienasi budaya bagi para penghuni rumah susun adalah perlu adanya persepsi, sikap dan perilaku yang memandang bahwa hidup di rumah susun adalah layaknya hidup di sebuah surga.
Dampak negatif ketiga dari dibangunnya rumah susun di perkotaan Indonesia adalah menjadikan stress atau ketidaknyamanan bagi penghuni rumah susun karena dua hal. Pertma. terlalu sempitnya luas desain hunian per keluarga. Dan kedua, kurangnya public space (ruang publik) di lingkungan rumah susun.
Terlalu sempitnya desain hunian rumah susun per keluarga dapat mengakibatkan penghuni rumah susun merasa tidak nyaman, bahkan dapat mengakibatkan stress. Hunian yang sempit dapat menjadikan penghuninya merasa sesak, dan tidak dapat merasa leluasa untuk melakukan aktifitas normal kehidupan keluarga. Paling tidak dalam satu keluarga dengan dua anakpaling sedikit diperlukan dua ruang tidur. Satu ruang tidur untuk bapak dan ibu, dan satu ruang tidur untuk anak-anak. Disamping itu terdapat ruang-ruang penting lainnya, seperti ruang dapur, ruang makan, ruang keluarga dan ruang tamu.
Jalan keluar untuk mengatasi sempitnya hunian rumah susun yang diperuntukkan per keluarga  adalah diperlukan perhatian oleh semua pihak, terutama Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Tata Kota, dan para pemerhati masalah rumah susun. Berbagai elemen penting tersebut harus berani menyuarakan aspirasinya dan menuntut untuk dibuatnya desain rumah susun yang benar-benar layak huni untuk mendukung aktifitas kehidupan normah dalam sebuah keluarga.
Dinas Pekerjaan Umum (DPU), Dinas Tata Kota dan para pemerhati pembangunan rumah susun dapat juga memberikan pemikiran pencerahan atas public space yang diperlukan, termasuk ketersediaan taman rumah susun, parking area,  dan lainnya. Dalam hal ini kita tidak dapat membayangkan apabila pembangunan rumah susun hanya terdiri dari susunan-susunan bangunan yang berjejer tanpa mempertimbangkan ketersediaan public space yang sangat memengaruhi tingkat kesehatan para penghuni rumah susun bersangkutan. Bangunan rumah susun yang tanpa didukung oleh ketersediaan public space dapat menjadikan stress yang berat bagi para penghuninya. Begitu juga bangunan tersebut dapat mengganggu kehidupan sosiologis bagi para penghuninya.
Dampak negatif keempat dari dibangunnya rumah susun adalah Kurang didukung oleh sarana transportasi ke arah pusat-pusat perekonomian perkotaan. Letak rumah susun yang tidak didukung oleh sarana tansportsi yang baik ke arah pusat-pusat perekonomian perkotaan dapat menjadikan penghuni rumah susun merasa terhambat oleh aktifitas kehidupannnya berkaitan dengan pusat-pusat perekonomian kota. Solusi yang baik untuk mengatasi masalah kurangnya sarana tansportasi ini adalah dibangunnya lingkar luar perkotaan. Lingkar luar perkotaan benar-benar berbentuk melingkar atau sedikit lonjong atau segi empat dengan bentuk jalan bebas hambatan yang tengahnya disekat oleh pembatas jalan. Dengan bentuk jalan seperti ini maka dapat memperlancar arus lalu lintas di jalan lingkar tersebut. Solusi kedua, peta perkotaan dibuat seperti Kota Canberra Australia. Kota Canberra adalah sebuah kota bentukan manusia yang ditujukan untuk kemudahan arus lalu lintas dan tujuan pencapaian ke pusat perkotaan Canberra.





Daftar Pustaka:
Budiarjo, Miriam. 1985. Pengantar Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
 Budiman, Arif. 1995. Teori Pembangunan Dunia Ketiga, cetakan kedua. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Daldjoeni, N. Seluk Beluk Masyarakat Kota: Pusparagam Sosiologi Kota dan Ekologi Sosial. Cet 4. Bandung: Penerbit Alumni.
Davis, Mike. 2000. City of Quartz: Los Engles, Captale du Future. Penerjemah:  Michel Dartevelle dan Marc Saint-Upery. Paris: La Decouverte.
Evers, Hans-Dieter. 1986. Sosiologi Perkotaan: Urbanisasi dan Sengketa Tanah di Indonesia dan Malaysia, Cet. 3. Jakarta: LP3ES.
Zuber, Ahmad dan Lukman Hakim, 2008. Aktif IPS untuk SD/ MI Kelas 1-6. Surakarta: PT. Tiga Serangkai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar