pembangunan pada umumnya diartikan
sebagai suatu usaha yang sadar oleh orang atau sekelompok orang untuk memajukan
kehidupan masyarakat dan warganya Sekalipun sebagai suatu usaha yang sadar,
tidak semua pembangunan memberikan dampat positif terhadap kehidupan bangsa dan
negara
Pengertian pembangunan sebagai
suatu proses, akan terkait dengan mekanisme sistem atau kinerja suatu sistem.
Menurut Easton (dalam Miriam Budiardjo, 1985), proses sistemik paling tidak
terdiri atas tiga unsur: Pertama, adanya input, yaitu bahan masukan konversi;
Kedua, adanya proses konversi, yaitu wahana untuk ”mengolah” bahan masukan;
Ketiga, adanya output, yaitu sebagai hasil dari proses konversi yang
dilaksanakan. Proses sistemik dari suatu sistem akan saling terkait dengan
subsistem dan sistem-sistem lainnya termasuk lingkungan internasional.
Proses pembangunan sebagai proses
sistemik, pada akhirnya akan menghasilkan keluaran (output) pembangunan, kualitas dari output pembangunan tergantung
pada bahan masukan (input), kualitas
dari proses pembangunan yang dilaksanakan, serta seberapa besar pengaruh
lingkungan dan faktor-faktor alam lainnya. Bahan masukan pembangunan, salah
satunya adalah sumber daya manusia, yang dalam bentuk konkritnya adalah
manusia. Manusia dalam proses pembangunan mengandung beberapa pengertian, yaitu
manusia sebagai perencana pembangunan, manusia sebagai pelaksana pembangunan,
dan manusia sebagai sasaran dari proses pembangunan (as object).
Dari uraian di atas, terlihat
bahwa faktor manusia memegang peranan yang penting dalam pelaksanaan proses
pembangunan. Manusia oleh beberapa ahli disebut sebagai makhluk sosial,
sehingga karenanya bersifat dinamis. Manusia sebagai makhluk sosial diartikan
sebagai makhluk yang tidak dapat hidup menyendiri, selalu membutuhkan hubungan
sosial dengan manusia lainnya, serta karena hubungannya tersebut menghasilkan
sistem nilai yang baku. Sistem nilai tersebut adalah budaya, yaitu hasil cipta,
rasa, dan karsa manusia sebagai akibat hubungan sosial dan proses adaptasi
dengan kondisi alam dan lingkungan di sekitarnya. Manusia dalam kumpulan
komunitas (masyarakat) akan membentuk kebudayaan komunitas (cultural community) yang pada
intinya menunjukan identitas,
ciri, atau kekhasan dari komunitas. Ketika mengartikan manusia
sebagai subjek dan objek dari proses pembangunan, maka identifikasi dari
identitas, ciri, atau kekhasan komunitas menjadi teramat penting. Pelaksanaan
pembangunan harus didasarkan pada kondisi faktor SDM (termasuk identifikasi
dari identitas, ciri, atau kekhasan komunitas) sebagai input pembangunan dan
kondisi SDM (termasuk identifikasi dari identitas, ciri, atau kekhasan
komunitas) sebagai sasaran atau objek pembangunan.
Manusia sebagai pelaku dan sasaran
pembangunan merupakan fokus dan lokus dari pembangunan. Manusia sebagai pelaku
pembangunan adalah terjadi suatu aktivitas yang demokratis-partisipatif dari
mulai identifikasi kebutuhan (need
assesment), perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi/pengendalian,
sehingga akuntabilitas dan transparansi terjadi secara simultan, Good Governance dan Clean Government yang
kita cita-citakan secara perlahan tapi pasti dapat kita raih. Sedangkan manusia
sebagai sasaran pembangunan diartikan bahwa tujuan pembangunan adalah
peningkatan kesejahteraan masyarakat (social welfare),
Pembangunan rumah susun yang
tidak memperhatikan unsur manusia sebagai subjek dan objek dari pembangunan
maka dapat berdampak negatif bagi kehidupan manusia dan lingkungannya.
Namun demikian menurut saya
dampak positif adalah jauh lebih besar dibandingkan dampak negatif dari
pembangunan rumah susun yang ada di Indonesia sekarang ini.
Beberapa dampak positif dari
pembangunan rumah susun adalah:
1.
Memberikan
peluang bagi anggota masyarakat untuk mendapatkan rumah layak huni.
2.
Membentuk
keindahan dan kemegahan lingkungan perkotaan.
3.
Menambah
keramaian pusat perkotaan.
Adapun beberapa dampak negatif
dari pembangunan rumah susun di
Indonesia antara lain:
1.
Menjadikan
culural shock bagi penghuni rumah
susun di masa transisi.
2.
Membentuk
elienasi budaya.
3.
Menjadikan
stress atau ketidaknyamanan bagi penghuni rumah susun atas:
a)
Terlalu
sempitnya luas desain hunian per keluarga.
b)
Kurangnya
public space (ruang publik) di
lingkungan rumah susun.
4.
Kurang
didukung oleh sarana transportasi ke arah pusat-pusat perekonomian perkotaan.
Dampak positif pertama,
pembangunan rumah susun memberikan peluang
bagi anggota masyarakat untuk mendapatkan rumah layak huni. Pernyataan
ini didukung oleh fakta bahwa banyak orang yang ingin mendapatkan hunian rumah
susun. Lebih-lebih secara umum, orang
cenderung lebih menyukai pada rumah-rumah bertingkat dari pada rumah tidak
bertingkat. Rumah bertingkat dipandang lebih indah dan lebih megah dari pada
rumah tidak bertingkat. Karena memang pembangunan rumah bertingkat itu memakan
biaya jauh lebih besar dari pada rumah tidak bertingkat. Orang cenderung
memandang bahwa rumah tidak bertingkat dipandang rumah biasa-biasa saja.
Lebih-lebih rumah bertingkat di depan dan di belakangnya terdapat halaman yang
cukup luas.
Konstruksi rumah bertingkat yang
mempunyai halaman depan dan halaman belakang yang cukup luas menjadi impian
semua orang.
Orang yang hidup di rumah
bertingkat atau susun yang mempunyai halaman depan dan halaman belakang yang
cukup luas menjadikan penghuni rumah susun layaknya hidup di surga. Istilah
arab yang sangat terkenal ”baiti jannati”. Maksudnya adalah rumahku surgaku.
Rumah susun dipandang mampu
memberikan peluang bagi anggota masyarakat untuk mendapatkan rumah layak huni.
Hal ini sesuai dengan tujuan yang
dikemukakan dalam UU RI Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun Pasal 3 yang
menyebutkan bahwa tujuan penyelenggaraan rumah susun adalah untuk menjamin
terwujudnya rumah susun yang layak huni dan terjangkau, guna membangun
ketahanan ekonomi, sosial dan budaya
Pada tahun 2007 ,melalui
pernyataannya menyebutkan bahwa pemerintah akan melakukan percepatan
pembangunan rumah susun di perkotaan sebagai solusi untuk mempertahankan
lingkungan yang baik, sekaligus untuk memenuhi kebutuhan dasar rakyat akan rumah.
Pernyataan tersebut secara jelas memberikan peluang bagi rakyat Indonesia untuk
mendapatkan rumah hunian.
Dampak positif kedua adanya
pembangunan rumah susun adalah untuk membentuk keindahan dan kemegahan
lingkungan perkotaan.
Dengan membentuk keindahan dan
kemegahan lingkungan perkotaan melalui pembangunan rumah susun ini memang
dimaksudkan untuk membangun image bahwa
perkotaan itu memang selayaknya merupakan tempat-tempat yang memberikan
keindahan dan kemegahan bagi para
penghuni dan pengunjung lingkungan perkotaan tersebut.
UU Nomor 20 tahun 2011 tentang
Rumah Susun pasal 3 huruf b menyebutkan, meningkatkan efisiensi dan efektifitas
pemanfaatan ruang dan tanah, menyediakan ruang terbuka hijau di perkotaan, yang
berwawasan lingkungan. Kemudian UU Nomor 20 tahun 2011 tersebut huruf c
menyebutkan mengurangi luasan dan mencegah timbulnya perumahan dan permukiman
kumuh.
Dampak positif ketiga adanya
pembangunan rumah susun di perkotaan Indonesia adalah untuk menambah keramaian
pusat perkotaan. Berdasarkan pengamatan saya, hal seperti ini kontras dengan
pemandangan alam pedesaan yang cenderung menampilkan sosok kesunyian dan
sedikit terlihat orang lalu lalang.
Dengan dijejali banyak orang
dan kendaraan mobil yang lalu lalang di sepanjang jalan protokol, pertokoan
pusat kota ataupun taman-taman kota dapat menjadikan keindahan dan kemegahan
suasana pusat kota.
Adapun dampak negatif dari
dibangunnya rumah susun di perkotaan yang pertama adalah dapat menyebabkan
cultural shock bagi para penghuni rumah susun terutama pada masa transisi.
Keterkejutan budaya ini terjadi karena penduduk Indonesia yang sampai sekarang
ini masih terbiasa dengan hunian rumah yang tidak bertingkat (horizontal house). Perpindahan hunian
dari horizontal house ke arah vertical house ataupun rumah susun ini
dapat menyebabkan para penguhuniya mengalami cultural shock. Saya kira ini
sesuatu yang alami atau bisa dimaklumi kejadiannya. Namun saya yakin keterkejutan
budaya ini sifatnya hanya sementara saja terutama pada masa-masa transisi. Jamu
yang mujarab untuk dapat mengatasi keterkejutan budaya ini adalah dengan
menerapkan pola adaptasi hunian rumah susun. Pola adaptasi hunia rumah susun
ini dapat dilakukan dengan cara mempelajari ekologi rumah susun, aturan-aturan
yang ada di rumah susun, dan membentuk peer
group atau kelompok teman sebaya. Insya Allah dengan melakukan hal-hal
tersebut keterkejutan budaya akan dapat diatasi sedikit demi sedikit. Dan
kemudian penghuni rumah susun dapat menjadikan hunia rumah susunya sebagai
tempat layaknya di surga. Dalam pengertian rumahku adalah surgaku. Baitii
jannatii.
Dampak negatif kedua
dibangunnaya rumah susun bagi para penghuninya adalah dapat mengakibatkan
alienasi budaya. Alienasi budaya ini terbangun dari terbelengkainya cultural shock yang dihadapi oleh para
penghuni rumah susun. Ketika penghuni
rumah susun mengalami cutural shock kemudaian
tidak segera diatasi dengan baik. Maka cultural
shock ini dapat mengakibatkan alienasi budaya. Penghuni rumah susun
mengalami keterasingan budaya. Penghuni rumah susun tidak dapat menikmati dan
menselaraskan budaya yang ada di rumah susun. Akhirnya tinggal di rumah susun
dipandang tidak mampu mempersembahkan sebagai tempat laksana surga, akan tetapi
justru sebaliknya, kehidupan di rumah susun dipandang sebagai sebuah
pemandangan lakasana kehidupan di neraka. Hal ini adalah sangat bahaya, karena
persepsi seperti ini dapat menggiring penghuni bersangkutan untuk menjadikan
rumah susun untuk melakukan perbuatan-perbuatan nekad yang tidak menguntungkan
secara pribadi dan sosial. Kasus melompat dari lantai atas di rumah susun
adalah sebuah kasus yang amat sangat konyol bagi pelakunya.
Obat yang sangat mujarab untuk
menangani kasus alienasi budaya bagi para penghuni rumah susun adalah perlu
adanya persepsi, sikap dan perilaku yang memandang bahwa hidup di rumah susun
adalah layaknya hidup di sebuah surga.
Dampak negatif ketiga dari
dibangunnya rumah susun di perkotaan Indonesia adalah menjadikan stress atau
ketidaknyamanan bagi penghuni rumah susun karena dua hal. Pertma. terlalu
sempitnya luas desain hunian per keluarga. Dan kedua, kurangnya public space (ruang publik) di
lingkungan rumah susun.
Terlalu sempitnya desain
hunian rumah susun per keluarga dapat mengakibatkan penghuni rumah susun merasa
tidak nyaman, bahkan dapat mengakibatkan stress. Hunian yang sempit dapat
menjadikan penghuninya merasa sesak, dan tidak dapat merasa leluasa untuk
melakukan aktifitas normal kehidupan keluarga. Paling tidak dalam satu keluarga
dengan dua anakpaling sedikit diperlukan dua ruang tidur. Satu ruang tidur
untuk bapak dan ibu, dan satu ruang tidur untuk anak-anak. Disamping itu
terdapat ruang-ruang penting lainnya, seperti ruang dapur, ruang makan, ruang
keluarga dan ruang tamu.
Jalan keluar untuk mengatasi
sempitnya hunian rumah susun yang diperuntukkan per keluarga adalah diperlukan perhatian oleh semua pihak,
terutama Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Tata Kota, dan para pemerhati masalah
rumah susun. Berbagai elemen penting tersebut harus berani menyuarakan
aspirasinya dan menuntut untuk dibuatnya desain rumah susun yang benar-benar
layak huni untuk mendukung aktifitas kehidupan normah dalam sebuah keluarga.
Dinas Pekerjaan Umum (DPU),
Dinas Tata Kota dan para pemerhati pembangunan rumah susun dapat juga
memberikan pemikiran pencerahan atas public space yang diperlukan, termasuk
ketersediaan taman rumah susun, parking
area, dan lainnya. Dalam hal ini
kita tidak dapat membayangkan apabila pembangunan rumah susun hanya terdiri
dari susunan-susunan bangunan yang berjejer tanpa mempertimbangkan ketersediaan
public space yang sangat memengaruhi
tingkat kesehatan para penghuni rumah susun bersangkutan. Bangunan rumah susun
yang tanpa didukung oleh ketersediaan public
space dapat menjadikan stress yang berat bagi para penghuninya. Begitu juga
bangunan tersebut dapat mengganggu kehidupan sosiologis bagi para penghuninya.
Dampak negatif keempat dari
dibangunnya rumah susun adalah Kurang didukung oleh sarana transportasi ke arah
pusat-pusat perekonomian perkotaan. Letak rumah susun yang tidak didukung oleh
sarana tansportsi yang baik ke arah pusat-pusat perekonomian perkotaan dapat
menjadikan penghuni rumah susun merasa terhambat oleh aktifitas kehidupannnya
berkaitan dengan pusat-pusat perekonomian kota. Solusi yang baik untuk
mengatasi masalah kurangnya sarana tansportasi ini adalah dibangunnya lingkar
luar perkotaan. Lingkar luar perkotaan benar-benar berbentuk melingkar atau
sedikit lonjong atau segi empat dengan bentuk jalan bebas hambatan yang
tengahnya disekat oleh pembatas jalan. Dengan bentuk jalan seperti ini maka
dapat memperlancar arus lalu lintas di jalan lingkar tersebut. Solusi kedua,
peta perkotaan dibuat seperti Kota Canberra Australia. Kota Canberra adalah
sebuah kota bentukan manusia yang ditujukan untuk kemudahan arus lalu lintas
dan tujuan pencapaian ke pusat perkotaan Canberra.
Daftar Pustaka:
Budiarjo, Miriam. 1985. Pengantar
Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Budiman, Arif. 1995. Teori Pembangunan Dunia Ketiga, cetakan kedua.
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Daldjoeni,
N. Seluk Beluk Masyarakat Kota:
Pusparagam Sosiologi Kota dan Ekologi Sosial. Cet 4. Bandung: Penerbit
Alumni.
Davis,
Mike. 2000. City of Quartz: Los Engles,
Captale du Future. Penerjemah:
Michel Dartevelle dan Marc Saint-Upery. Paris: La Decouverte.
Evers,
Hans-Dieter. 1986. Sosiologi Perkotaan:
Urbanisasi dan Sengketa Tanah di Indonesia dan Malaysia, Cet. 3. Jakarta:
LP3ES.
Zuber, Ahmad
dan Lukman Hakim, 2008. Aktif IPS untuk
SD/ MI Kelas 1-6. Surakarta: PT. Tiga Serangkai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar